Kolo Toure dan Yaya Toure, dua muslim bersaudara yang pernah menaklukkan ketatnya persaingan di sepak bola Eropa.
Berasal dari negara yang pernah mengalami konflik, Pantai Gading, dua kakak adik itu adalah potret pesepakbola asal Benua Afrika yang tak kenal lelah. Mereka adalah potret dari pesepakbola muslim asal Afrika yang berhasil mengangkat keluarga keluar dari kemiskinan di Abidjan, kampung halaman dua pesepakbola itu.
Dilansir dari Life Bogger, Kolo dan Yaya merupakan anak pertama serta kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan Mory Toure dan sang istri.
Sang ayah hanya berstatus pensiunan tentara dan menjadi buruh tani. Sebagai anak sulung, Kolo berusaha membantu ekonomi sang ayah dengan menjadi tukang semir sepatu. Maklum, Mory kesulitan menafkahi anak-anaknya secara layak.
Yaya yang merupakan anak kedua, mengikuti jejak sang kakak dengan ikut menjadi penyemir sepatu.
Kolo kemudian mendapat kesempatan memperkuat salah satu akademi klub di Abidjan. Dia berhasil memperkuat klub profesional Pantai Gading, ASEC Mimosas.
Dari klub itu pula dia langsung dilirik salah satu pemandu bakat Arsenal. Seperti impian jadi kenyataan, Kolo naik derajat bisa memperkuat salah satu klub raksasa di Liga Inggris itu.
Ketika Kolo menempa diri di klub lokal, Yaya lagi-lagi terinspirasi untuk mengikuti jejak sang kakak. Dia juga mendapat kesempatan memperkuat klub lokal sebagai anak tangga pertama menuju sukses keluar dari kemiskinan.
Tak seperti sang kakak, Yaya harus menjalani petualangan ke klub-klub Eropa. Dari klub Liga Belgia Beveren, dia hijrah ke klub Liga Ukraina Metalurh Donetsk. Kemudian dia melanjutkan karier ke klub Liga Yunani Oympiakos Piraeus dan klub Liga Prancis AS Monaco hingga pernah bergabung ke klub elite Spanyol, Barcelona pada 2007 hingga 2010.
Setelah itu Yaya merapat ke klub kaya Liga Inggris, Manchester City, selama delapan tahun.
Yaya dan Kolo Toure merasakan masa kejayaan ketika memperkuat klub yang sama, Manchester City. Sang kakak lebih dahulu bergabung sebagai bek tengah pada 2009.
Kolo memang menjadi pembuka jalan bagi adiknya untuk merumput di Liga Inggris. Bek tengah itu kali pertama berkarier di Inggris dengan memperkuat Arsenal dari klub Pantai Gading, ASEC Mimosas, pada 2002.
Setahun setelah Kolo bergabung dengan Man City, Yaya yang berposisi sebagai gelandang menyusul kakaknya membela The Citizens. Kolo hengkang ke Liverpool pada 2013, sedangkan Yaya bertahan bersama Man City hingga 2018.
Sebagai muslim, mereka juga mencoba mempertahankan prinsip dalam ajaran agama Islam. Kolo Toure misalnya, dikenal sebagai pemuda masjid.
Dilansir dari The Guardian, Mory Toure mengatakan kedua anaknya, terutama Kolo Toure merupakan muslim yang taat. Khusus untuk Kolo, Mory mengatakan sang anak tak pernah jauh dari masjid.
Selama membela Man City, Kolo selalu aktif dalam kegiatan komunitas muslim di Masjid Stretford yang terletak tidak jauh dari markas Manchester United. Dia juga kerap terlibat dalam kerja-kerja komunal dan mendonasikan uang ke yayasan-yayasan di Pantai Gading.
“Kami adalah muslim yang taat. Dia rela melakukan apapun demi keluarganya dan tak akan pernah bersentuhan dengan obat-obatan terlarang dan minuman keras,” ujar Mory.
Mantan pelatih Arsenal, Arsene Wenger, juga pernah mengungkapkan kesan positif tentang Kolo.
“Dia memiliki kehidupan yang jernih, sangat jujur, dan selalu berada di rumah. Dia adalah tipe pria yang mementingkan keluarga,” ujar Wenger.
Kolo memang nyaris tak pernah disorot dengan pemberitaan yang kontroversial di luar lapangan. Mark Hughes, mantan pelatih Man City yang memboyong Kolo ke klub itu, menyebut Kolo sebagai seorang profesional yang baik.
Sementara itu, sang adik, Yaya berusaha menjadikan Kolo sebagai anutan di dalam dan luar lapangan. Sama dengan sang kakak, dia mencoba menjaga prinsip-prinsip ajaran Islam.
Salah satu cerita menarik adalah ketika Yaya terpilih sebagai Man of The Match usai membela Man City di Liga Inggris pada 2012. Yaya menolak pemberian sampanye dari rekan setimnya, Joleon Lescott.
Sampanye merupakan hadiah yang selalu diberikan kepada pemain berstatus Man of the Match. Meski demikian usai sesi wawancara, Yaya secara halus menolak pemberian itu.
“Saya tidak minum [minuman beralkohol] karena saya muslim. Jadi kamu simpan saja,” ujar Yaya kepada Lescott sembari tersenyum kemudian menepuk dada rekan setimnya itu dikutip dari Daily Mail.
Yaya dan sang kakak juga dikenal sebagai pemain yang tetap menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan meski harus menjalani beratnya kompetisi di Eropa. Bagi mereka puasa justru semakin menambah kekuatan fisik asalkan dengan menu makanan bernutrisi.
Lihat juga: Marquez Pilih ‘Ribut’ Lagi dengan Rossi daripada MotoGP Vakum
“Saya sudah beberapa kali mengamati bahwa berkarier di sepak bola selama Ramadan memang berat. Namun saya merasa semakin kuat karena kondisi mental saya mampu mengendalikan.”
“Tentu saja berat, namun ketika Anda percaya Tuhan, tidak ada yang mustahil,” ujar Kolo dikutip dari situs klub Liverpool. (bac/har)